Sugeng Rawuh ^_^

" Mugi saking serat kedik menika saged maringi faedah kagem sederek sedaya"

Kamis, 01 April 2010

Es Lilin Teman Kecilku

Ketika itu aku adalah seorang murid yang masih duduk dikelas 5 SD. Namaku Musta, bapak dan ibuku adalah seorang petani dan kami tinggal di Desa. Aku mempunyai lima bersaudara, dua perempuan dan tiga laki-laki. Aku anak nomer dua dari keenam bersaudara, kakakku yang pertama adalah perempuan. Aku hidup dengan rukun dan bahagia bersama keluargaku, tapi kebahagiaan itu tidak bisa bertahan lama setelah bapakku sakit-sakitan. Selama bapak sakit, sebagai anak laki-laki tertua aku mencoba membantu ibu untuk berjualan es lilin setelah pulang sekolah. Karena Cuma mengandalkan hasil sawah yang sedikit itu, tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup keluargaku. Untuk membeli obat buat bapak, dan untuk biaya sekolahku dan adik-adikku semua itu butuh dana yang cukup.
Setiap pulang sekolah, aku langsung ganti pakean seragamku dengan pakaian biasa dan langsung pergi ke rumah pemilik es lilin didekat rumahku untuk menjual es lilin itu dengan berkeliling jalan kaki dari desa satu ke desa yang lain. Panas terik matahari tak mebuatku lelah demi mendapatkan uang untuk pengobatan bapak dan biaya sekolah untuk adik-adikku.
“Es lilin….es lilin….es lilin,,,” dengan suara keras aku menyebutkan kata-kata itu,, “Es lilin mbak…es lilin bu,,,siapa yang mau beli..es lilin…es lilin…”
Hari sudah mulai sore dan jalan yang aku tempuh juga sudah semakin jauh, senang sekali rasanya jika es lilin yang aku bawa laku terjual habis. Karena dengan itu aku bisa mendapat upah dari pemilik es lilin ini. Aku pun pulang dengan perasaan yang senang karena bisa memberi sedikit uang untuk ibu.
Setelah menyetorkan hasil es lilin tadi, aku pun langsung beranjak untuk pulang kerumah. Tapi, dari kejauhan aku melihat rumahku penuh dengan banyak orang. Aku penasaran dengan apa yang terjadi di rumahku. Akhirnya aku berlari dengan nafas terengah-engah karena masih lelah setelah berjalan berkilo-kilo untuk menjual es lilin tadi. Akhirnya aku sampai di depan rumah, tiba-tiba ibu memeluk aku sambil menangis.
“Musta, kamu jangan sedih ya…bapak sudah dipanggil oleh Yang Maha Kuasa” kata ibu lirih sambil memeluk aku.
Nafas yang tadinya terengah-engah seketika hilang terganti dengan seluruh badan yang sangat lemas ibarat mesin berat melindas seluruh tubuhku hingga tidak bisa digerakkan. Sedih bercampur putus asa semua ada dihatiku, tapi aku tidak mau terlarut dalam kesedihan. Aku mencoba menghibur adik-adikku supaya mereka tidak sedih, dan ibu juga selalu mendukung aku agar aku tidak penah putus asa.
Setelah bapak dimandikan, aku ikut menyolati bapak. Setelah disholatkan, aku ikut kepemakaman untuk mengikuti langsung acara pemakaman bapak.
“Ya Allah,,,berikanlah aku kesabaran atas apa yang engkau ujikan kepadaku” doaku lirih sepanjang jalan menuju tempat pemakaman.
Dibawah pohon asam dan didekat dengan makam kakek bapak dimakamkan. Setelah Pak Kyai membacakan doa untuk bapak, orang-orang yang ikut melayat satu persatu pergi meninggalkan tempat pemakaman bapak. Angin yang berhembus sunyi, dan dedaunan yang berhempas disekitar pemakaman itu membuat suasana hatiku teringat lagi oleh sosok bapak disampingku. Ketika orang-orang sudah pergi dan tinggalah aku seorang disitu, aku mencium batu nisan yang bertuliskan “Mansuri Bin Sofyan wafat 12 maret 1896”
“Ya Allah,,,ampunilah dosa-dosa bapakku. Terimalah bapak di sisiMu, berikanlah tempat yang terbaik untuk bapak. Janganlah Engkau siksa bapak dengan adzabMu yang pedih. Amin” dengan lirih aku berdoa untuk bapak.
“Bapak, Musta berjanji…Musta akan membantu ibu selalu dan membahagiakan adik-adik Musta. Semoga bapak tenang dialam sana” kata terakhir yang aku ucapkan sebelum meninggalkan pemakaman itu.
Setelah peristiwa itu, aku mulai lebih bersemangat untuk menjual es lilin. Seperti biasa, aku selalu menjual es lilin setelah pulang sekolah. Dengan pakaian biasanya, aku menjual es lilin ke desa-desa yang sudah menjadi langgananku untuk berjualan
“Es lilin….es lilin…es lilin,,, bu es lilinnya,, pak es lilin pak” itulah kata-kata yang selalu aku lantangkan.
Ketika itu per es lilin harganya Cuma lima puluh rupiah, jadi jika aku membawa satu wadah es lilin yang berisi 100 hasil yang aku terima untuk disetorkan adalah sejumlah lima ribu rupiah. Pada saat itu uang lima ribu rupiah itu sudah terhitung banyak jumlahnya. Dan upah yang aku terima juga tidak tentu, kadang jika es lilinnya laku banyak aku mendapatkan sekitar dua ribu rupiah. Dan jika es lilinnya laku kurang banyak, aku mendpatkan seribu lima ratus rupiah. Bahkan, aku juga pernah mendapatkan seribu rupiah jika es lilinnya laku sedikit. Tapi aku tidak pernah menyerah untuk mendapatkan uang dari es lilin itu. Karena Cuma menjual es lilin lah aku bisa mendapatkan uang. Karena faktor usiaku yang masih kecil, jadi tidak memungkinkan aku untuk bekerja yang berat-berat seperti kuli. Dan hanya es lilin lah yang menjadi sahabat setiaku untuk mendapatkan uang.
Uang seratus rupiah selalu aku berikan untuk kedua adikku, dan masing-masing mereka hanya mendapatkan lima puluh rupiah untuk saku jajan di sekolah. Karena pada saat itu, harga jajanan juga masih murah-murah. Ada yang lima rupiah, ada yang sepuluh rupiah, lima belas rupiah, dua puluh lima rupiah, dan lain-lain.
Aku menjalani ini hingga sebatas SMP, karena semakin tahun apa-apa semakin mahal aku mulai berpikiran untuk bekerja yang lebih bisa menghasilkan uang banyak. Lulus dari SMP, aku diajak tetanggaku untuk bekerja diluar kota. Dan akhirnya aku ikut dan bekerja di kota Tuban sebagai penjual perabotan dapur.
Alhamdulillah dari pekerjaanku itu, aku bisa mengirim uang kepada ibu setiap bulannya. Dan dari kerja kerasku, aku bisa mengumpulkan uang yang lebih banyak. Allah begitu baik kepadaku, karena telah mengabulkan doaku. Setelah dewasa dan mapan, ibu menyarankan aku untuk menikah. Dan ternyata jodohku adalah orang Tuban. Aku menyukai gadis Tuban itu, dia seorang guru TK di Desa itu. Dan setelah saling kenal akhirnya orang tua gadis itu tahu kalau aku mencintainya. Akhirya ibuku dan orang tua gadis itu merestui kami untuk menikah.
Kami hidup bahagia, dan aku tidak akan pernah lupa dengan sahabat terbaikku yaitu “Es Lilin”. Karena es lilin lah yang bisa membuat aku bertahan sampai sekarang ini. Walaupun kecil, tapi es lilin sangat enak untuk dinikmati. Terlebih pada anak-anak kecil, tangis mereka kepada ibunya hanya untuk minta dibelikan es lilin. Terimakasih es lilin.

SEKIAN